I. Probability/Random Sampling.
Syarat
pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah
memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling
frame”. Yang dimaksud dengan
kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi
yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang
orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika
populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus
bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “
tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan
informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan
bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah
rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh
rumah tangga kota tersebut. Jika
populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah
Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap
tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di samping sampling frame, peneliti juga harus
mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi,
elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan
adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau
undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem
undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan,
cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.
- Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara
atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung
deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap
unsur atau elemen populasi tidak
merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi
ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan
manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam
organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal
yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian,
maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian
setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih
menjadi sampel. Prosedurnya :
- Susun “sampling frame”
- Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
- Tentukan alat pemilihan sampel
- Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
- Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen,
dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian
tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini.
Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu
kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif
sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya
tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat
atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random
distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan
tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari
setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
- Siapkan “sampling frame”
- Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
- Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
- Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada
saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan
secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional
adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur
populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas
(I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer
tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160.
Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9
manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah
dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau
elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau
dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa
mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat
menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.
- Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara
pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel
acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki
karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan
semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang
karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi
terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan
karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya,
beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai
terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat
menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu
atau dua departemen saja. Prosedur :
1.
Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di
atas, elemennya ada 100 departemen.
2.
Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3.
Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4.
Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample
4.
Systematic Sampling atau Sampel
Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang
banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan
sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk
memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa
dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.
Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel.
Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung
pada ukuran populasi dan ukuran sampel.
Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil
adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan
seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
5.
Susun sampling frame
6.
Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7.
Tentukan K (kelas interval)
8.
Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval
tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9.
Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor
awal yang terpilih.
10. Pilihlah
sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
4.
Area
Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada
situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya,
seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan
masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel
dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1.
Susun sampling
frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya,
Kecamatan, Desa.
2.
Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten
?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3.
Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel
penelitiannya.
4.
Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan
cara acak atau random.
5.
Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang
harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti
telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen
populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur
populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena
faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1. Convenience Sampling atau sampel yang
dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel,
peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja.
Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau
kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis
menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive
sample (man-on-the-street) Jenis
sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang
kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang
menggunakan jenis sampel ini, hasilnya
ternyata kurang obyektif.
2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya,
sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu
diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu
tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis
sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
3. Judgment Sampling
Sampel dipilih
berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk
dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang
bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer
produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu
atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program
pengembangan produk (product development),
biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan
bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan
dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan
baik. (Cooper dan Emory, 1992).
4. Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah
bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih
secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah
kantor terdapat pegawai laki-laki 60%
dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang
pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai
laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi,
teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak,
melainkan secara kebetulan saja.
5. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai
ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya
tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel.
Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel
pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel.
Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap
lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan
kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada
wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah
jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa
mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan
pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang
eksklusif (tertutup)
II. SYARAT ATAU KETENTUAN PENGAMBILAN SAMPLE
Sampel
adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada
populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti.
Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar
hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan
sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan
elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari
keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa
peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian
banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b)
keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti
harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan
kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada
terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan
memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi
kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi
homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk
akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
Agar hasil penelitian yang dilakukan
terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik
populasi, maka cara penarikan sampelnya
harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Populasi atau universe
adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian.
Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk tertentu,
maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti
adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan
laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi
pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen
“A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi
“Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”
Elemen/unsur
adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan
keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen
penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika
populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam
populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.
Syarat Pengambilan sample
Secara umum, cara pengambilan sample adalah yang
dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa
pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang
seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan
yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut
tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang
Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau
ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias”
(kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan
yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias”
atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper
dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there
is no systematic variance” yang
maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh
yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah
pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas
tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di
setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan
semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode
penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang
terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory, 1995,
Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini
berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden
yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari
daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan
jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D.
Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata
Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa secara seksama,
ternyata Literary Digest membuat
kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang
diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang
sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili,
padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut.
Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan
prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya
jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel
harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi.
Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi.
Presisi mengacu pada persoalan sedekat
mana estimasi kita dengan karakteristik
populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang.
Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong
produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk
“X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang
dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari
sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara
rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi
sampel tersebut.
Belum pernah ada sampel yang bisa
mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap
penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan
nama “sampling error” Presisi diukur
oleh simpangan baku (standard error).
Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S)
dengan simpangan baku dari populasi (, makin tinggi pula tingkat presisinya.
Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin
bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan
mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ).
Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi
dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah.
Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Di
bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan tingkat kesalahan
seperti yang diuarakan oleh Kerlinger
besar
kesa- lahan
kecil
kecil besarnya
sampel besar
Ukuran sampel
Ukuran sampel atau jumlah sampel
yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan
dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada
penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi
nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya
sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan
dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain
yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana
analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan
Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi,
makin banyak sampel yang harus diambil.
Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun
harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap
kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap
dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus
terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin
sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula
sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian
haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).
Misalnya,
jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya
adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili
populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika
ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika
ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran
populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula
yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi,
penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian
perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15
elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe
(1975) dalam Uma Sekaran (1992)
memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1.
Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2.
Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel
(laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3.
Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi
multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari
jumlah variable yang akan dianalisis.
4.
Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan
pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie dan Morgan (1970) dalam
Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah
sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
10
|
10
|
220
|
140
|
1200
|
291
|
15
|
14
|
230
|
144
|
1300
|
297
|
20
|
19
|
240
|
148
|
1400
|
302
|
25
|
24
|
250
|
152
|
1500
|
306
|
30
|
28
|
260
|
155
|
1600
|
310
|
35
|
32
|
270
|
159
|
1700
|
313
|
40
|
36
|
280
|
162
|
1800
|
317
|
45
|
40
|
290
|
165
|
1900
|
320
|
50
|
44
|
300
|
169
|
2000
|
322
|
55
|
48
|
320
|
175
|
2200
|
327
|
60
|
52
|
340
|
181
|
2400
|
331
|
65
|
56
|
360
|
186
|
2600
|
335
|
70
|
59
|
380
|
191
|
2800
|
338
|
75
|
63
|
400
|
196
|
3000
|
341
|
80
|
66
|
420
|
201
|
3500
|
346
|
85
|
70
|
440
|
205
|
4000
|
351
|
90
|
73
|
460
|
210
|
4500
|
354
|
95
|
76
|
480
|
214
|
5000
|
357
|
100
|
80
|
500
|
217
|
6000
|
361
|
110
|
86
|
550
|
226
|
7000
|
364
|
120
|
92
|
600
|
234
|
8000
|
367
|
130
|
97
|
650
|
242
|
9000
|
368
|
140
|
103
|
700
|
248
|
10000
|
370
|
150
|
108
|
750
|
254
|
15000
|
375
|
160
|
113
|
800
|
260
|
20000
|
377
|
170
|
118
|
850
|
265
|
30000
|
379
|
180
|
123
|
900
|
269
|
40000
|
380
|
190
|
127
|
950
|
274
|
50000
|
381
|
200
|
132
|
1000
|
278
|
75000
|
382
|
210
|
136
|
1100
|
285
|
1000000
|
384
|
Sebagai informasi lainnya, Champion
(1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu menyertakan
rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan
sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60 atau dari
120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak direkomendasikan untuk
menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat dibaca di Bab 7 dan 8
buku Basic Statistics for Social Research, Second Edition)
Syarat metode sampling
Dalam memilih metode sampling yang akan digunakan, persyaratan berikut ini
harus dipenuhi :
·
Sampling
tidak boleh menyebabkan kontaminasi
·
Sampling
tidak boleh menyebabkan penurunan jumlah mikroba
·
Harus
memberikan hasil yang reproduksibel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar